Menjadi Traveler Yang Bijak
Di era ini, istilah-istilah newbie bertebaran dimana-mana.
Tak hanya menjangkit pada start up, newbie ini juga merambah dunia para pejalan
a.k.a traveler. Dan istilah newbie ini yang membuat saya semakin bingung dan
linglung. Terlebih banyaknya muncul meme, doodle dan lain sebagainya terkait
para newbie, mereka disudutkan. Ada semacam zolimisasi, kasta atau apalah itu
yang memisahkan antara kelas newbie dan professional. Oleh: Antonius Naibaho, Pendiri Pariwisata Sumut.
“Sibayak Udah kek Pajak!!”
“Ramekan Klen Lah Gunung Sibuatan Itu, Gak Tau Kalian Udah
Banyak Sampah Disitu”
“Bawa Turun Kertas Yang Ada Tulisannya, Jangan Tinggalkan”
Hanya 3 yel-yel diatas yang paling membuat saya tergelak.
Yel-yel yang dikemukakan para old class kepada newbie. Usaha untuk menunjukkan
bahwa kelasnya lebih tua dan lebih layak untuk disegani. Lantas sudahkah anda
teriakkan perintah itu kepada anda sendiri atau pernahkan anda berusaha mencari
tahu kenapa hal-hal itu bisa terjadi? Hayo kamu ngaku… ngaku deh.
Milineal traveler, begitu para pakar pariwisata dalam hal
menarik kesimpulan terkait fenomena dan karakter travelers yang terjadi saat
ini. Peran digital sudah menjadi sebuah kebutuhan pokok, termasuk dunia
kepariwisataan. Semarak perkembangan digital membuat setiap orang dengan mudah
mendapatkan informasi, terlebih kemunculan para travel blogger, portal berita,
akun-akun pariwisata dan pegiat sosial media (buzzer) yang bombastis, punya
pembaca ribuan dan punya puluhan ribu follower.
Minat berkunjung seseorang ke sebuah tempat (bukan
destinasi) wisata cenderung bukan karena hobby. Tetapi lebih kepada
ketertarikan untuk melihat, menikmati atau sialnya hanya untuk berfoto selfie
yang kemudian diupload ke Instagram/Twitter dan sebagainnya disertai keterangan
acakadut. Lantas kita yang sudah merasa “tua” dan layak “dituakan” mulai
komat-kamit. Foto-foto sampah di gunung, pantai dan tempat wisata lainnya
memicu kepopuleran bangsa kita yang paling hobby menggerutu. Kita menggerutu
bahkan memaki, kita menggerutu bahwa itu adalah perbuatan newbie travelers,
kita merasa paling berhak mengadili.
Mass communication dan mass tourism. Keduanya ibarat alat
penjebak ikan. Mass communication sebagai pancing dan mass tourism sebagai
kail. Buss informasi yang mempublikasikan sebuah tempat wisata tentu akan
memancing pergerakan para traveler, baik yang sudah tua dijalan atau yang masih
merangkak alias newbie. Badan yang punya kapasitas untuk memberikan penanganan
akan yel-yel di paragraf kedua adalah pemerintah. Bila pemerintah sudah
mengerti akan dampak dari mass tourism, saya yakin tidak ada lagi yel-yel
semaput itu. Begitu juga dengan travel blogger, portal berita, akun-akun
pariwisata dan pengguna sosial media, alangkah bijaknya bila informasi yang
diberikan disertai tulisan-tulisan yang
edukatif, mendidik bagaimana kami yang newbie ini layak dipandang sebagai penerus
old class traveler.
Tetapi tunggu dulu, bukankah semua yang professional berawal
dari newbie? J