Retribusi dan Pungutan Liar Masih Menjadi Masalah Pariwisata di Sumut?
instagram.com/laburaku |
Di Sumatera Utara sendiri, terdapat lebih dari 30 akun publik non pemerintah di instagram menjadi influencer, baik dikelola perseorangan maupun komunitas yang mengulas berbagai objek wisata dan daya tarik budaya.
Dampaknya cukup baik, promosi pariwisata mengandalkan teknologi digital mampu menarik minat traveler baik lokal maupun luar daerah untuk datang dan melakukan kunjungan.
Sebagai media komunikasi dua arah, sosial media dipandang cukup efektif sebagai sarana informasi, di mana netizen dapat dengan mudahnya memberi pendapat terkait posting-an objek wisata di instagram yang dikelola oleh akun-akun non government tersebut.
instagram.com/pariwisata_sumut |
Sebut saja bila wisatawan ingin berkunjung ke Bukit Indah Simarjarunjung di Simalungun yang kini tengah menjadi sorotan dan selalu ramai dikunjungi. Terbukti, wisatawan harus mengeluarkan kocek yang cukup mencengangkan.
Permasalahan klasik terkait mental warga lokal, wisatawan bisa dimintai uang oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab hingga beberapa kali. Pungutan liar yang justru menjatuhkan image pariwisata yang harusnya berpatokan pada hospitality.
Hal sama juga dialami oleh banyak wisatawan ketika ingin berkunjung ke Kawah Putih Tinggi Raja yang masih masuk ke dalam kawasan kabupaten Simalungun. Tim kami mengalami hal serupa, dimintai uang hingga beberapa kali dalam perjalanan menuju lokasi. Katanya sih biaya untuk "perbaikan jalan".
Sikap dan karakter pengelola wisata yang ngotot meminta bayaran tinggi juga menjadi boomerang. Bayangkan saja, untuk satu orang dihargai hingga Rp. 150.000. Lucunya lagi, tarif tersebut tidak merata, tergantung penampilan dari para pengunjung, ya semakin Anda ber-penampilan kaya semakin besar uang yang harus Anda keluarkan.
Satu obyek wisata boleh dikatakan mutiara bila wisatawan tak bosan-bosan mengunjungi obyek tersebut lebih dari dua kali. Namun jika wisatawan mendapatkan permasalahan terkait pungli dan retribusi seperti di atas maka akan muncul istilah "cukup sekali".
Lalu sampai kapan permasalahan seperti ini akan berlangsung?
Writer: Antonius Naibaho Editor: Thomson Edu