Widget HTML Atas

Tunggal Panaluan Dan Cinta Terlarang


PariwisataSUMUT.net - Seni amatlah berkaitan dengan kreatifitas, namun seni juga memiliki hubungan dengan kebudayaan. Beberapa kerajinan tangan di Indonesia berkaitan dengan legenda, mitos maupun sejarah. Pada masyarakat Suku Batak, terutama Batak Toba terdapat sebuah kerajinan tangan yang kini telah dijadikan wisatawan sebagai oleh-oleh dari Danau Toba bernama Tunggal Panaluan

Sejarah Tunggal Panaluan
Sejarah dan kisah Tukkot/Tongkat Tunggal Panaluan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan tradisional batak. Menurut turi-turian (cerita dalam bahasa Batak), Tunggal Panaluan berawal dari sepasang suami isteri yang melahirkan dua anak kembar putra dan putri. Sejalan dengan adat-istiadat Batak maka para tetua desa menyarankan agar kedua anak tersebut dibesarkan terpisah. Sang ayah tidak mengikuti saran dari tetua desa, ia kemudian membuat gubuk kecil di Pussuk Buhit.


Seiring dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh menjadi dewasa dan saling jatuh cinta. Hingga kemudian mereka melakukan hubungan intim. Suatu ketika Si Boru Tapi Nausan (perempuan) melihat pohon Si Tua Manggule yang tengah berbuah ranum, ia tertarik dan meminta Si Aji Donda Hatautan untuk memetik buah tersebut. Namun tanpa disangka, ketika si Aji Donda Hatautan memakan buah tersebut ia lengket dan menyatu dengan pohon. Melihat kejadian tersebut Si Boru Tapi Nausan mencoba untuk ikut serta akan tetapi ia pun mendapatkan hal yang sama. Anjing yang menjaga mereka juga ikut menempel di pohon.

Sang ayah yang berniat menjumpai kedua anak kembarnya terperanjat ketika tak menemui anaknya di gubuk. Berpatokan pada jejak kaki, sang ayah pun mencari keduanya, ia kembali terperanjat melihat kedua keturunannya tersebut telah menempel bersama anjingnya di pohon. Terburu-buru sang ayah yang bernama Guru Hatahutan lantas pulang dan menjumpai datu (dukun) untuk meminta tolong. Alih-alih menyelamatkan kedua insan tersebut, sang dukun malah ikut serta menempel bersama ketiga mahluk di pohon. Tersiarnya kabar itu membuat beberapa dukun besar Batak mencoba membantu mereka namun sayangnya tetap tak berhasil dan mereka juga mendapatkan kejadian yang sama. 5 dukun (Barit Songkar Pangururan, Guru Mangantar Porang, Si Sanggar Meoleol, Parjamburan Na Melbuselbus, Datu Pulu Panjang Na Uli) dan 2 hewan (Anjing peliharaan dan Ular di Pohon) telah mendapatkan nasib yang sama seperti Si Boru Tapi Nausan dan Si Aji Donda Hatautan.


Dukun terakhir yang menyanggupi untuk menyelamatkan korban pun beraksi, ia kemudian memotong pohon tersebut. Ajaibnya ke 5 wajah mereka pun menghilang beserta kedua hewan yang telah menempel di pohon. Sang Datu Parpassa Ginjang kemudian menyuruh Guru Hatautan untuk mengukir pohon menyerupai ke 5 wajah dan 2 hewan tersebut. Malam harinya sang dukun pun dirasuki mahluk gaib yang tertelan pohon dan melakukan percakapan intrapribadi. Ke lima manusia yang tertelan pohon meminta pertanggungjawaban dari sang dukun. Setelah melakukan negosiasi panjang akhirnya diperoleh kesepakatan bahwa kayu dari pohon yang sudah diukir itu akan menjadi alat bagi Suku Batak untuk mendatangkan hujan di kala musim kemarau, penangkal ketika musim hujan tiba dan alat pengusir kejahatan. Permintaan tersebut dipatuhi, hingga saat ini datu-datu Batak masih menggunakan Tukkot Tunggal Panaluan.

Fungsi Tunggal Panaluan
Tunggal Panaluan adalah alat bagi datu (dukun Batak) dan menjadi salah satu karya seni tradisional Batak. Perkembangan zaman pun beralih, kini Tunggal Panaluan telah banyak diperjual belikan untuk tujuan estetika. Anda dapat membeli handy craft ini di pusat-pusat wisata belanja baik di Tomok, Panguruan maupun Parapat. Tunggal Panaluan juga dapat kita temukan dalam seni tari tradisional Batak. Tak hanya itu, kisah mengenai sejarah Tunggal Panaluan telah dibuat dalam bentuk teaterikal Batak. Salam Peduli Pariwisata Sumut. (Oleh Antonius Naibaho)